Nikmati saja hujan dengan secangkir kopi hangat dan obrolan di blog ini....

Senin, 18 Agustus 2014

3 Hati 2 Dunia 1 Cinta (semacam resensi)



Lagi-lagi saya menemukan peristiwa hujan yang tiba-tiba turun dan mendramatisir perjumpaan dua sejoli Rosyid dan Delia dalam film 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta. Mereka sedang berada di klimaks kebimbangan hubungan yang terbentur karang perbedaan. Rosyid seorang Muslim dan Delia seorang penganut Katholik. Tentu karang yang menghadang mereka terletak pada kedua pihak orang tua yang tidak memberi restu hubungan mereka. Ada beberapa hal yang membuat saya merenung setelah melihat film ini.

1. Rosyid enggan mengenakan peci putih, bukan karena rambutnya yang kribo sehingga tidak muat ketika mengenakan peci. Ia enggan memakai peci putih karena itu bukanlah ajaran agama tetapi ajaran leluhur yang sudah menjadi tradisi. Jawaban Rosyid itu dianggap sesat oleh ustad dan ayahnya. Di sinilah simbol-simbol reformasi agama tersirat melalui film ini. Agama bukanlah tradisi semata melainkan yang lebih penting adalah ajarannya. Peci putih seolah menjadi sebuah pakaian wajib kelompok Islam tertentu. Kalau sebatas itu saja masih bisa ditoleransi. Tetapi ketika sudah mengarah kepada peci putih adalah simbol yang tak tergantikan, di sinilah agama telah terjebak di dalam tradisi. Bukan lagi ajarannya yang diutamakan, melainkan justru tradisi leluhur yang disanjung-sanjung. Di dalam gereja pun ada banyak hal yang seolah-olah sudah dibakukan dan dianggap sesat ketika ada yang ingin mengubah. Misalnya saja di gereja-gereja reformasi (biasanya buah zending Belanda) menganggap iringan nyanyian ibadah itu ya organ. Selain organ? Beberapa menentang iringan alat musik lain karena menganggap organ itu alat musik sorgawi yang tidak dapat ditawar lagi. Selain itu masih banyak hal yang membuat kita terpaku kepada tradisi leluhurlah yang paling baik dan malah mengesampingkan ajaran agama yang sebenarnya adalah perintah dari Tuhan.

2. Bagian yang membuat saya terharu adalah saat Delia sebanyak dua kali mengucapkan kata Wassalamualaikum.... Yang pertama adalah kepada ibu Rosyid di rumah dan yang kedua kepada ayah Rosyid di Rumah Sakit. Salam itulah yang meluluhkan hati kedua orang tua Rosyid. Saat salam itu diucapkan seolah-olah ada sesuatu yang menembus batas tembok yang sangat tebal. Yang membuat saya menarik napas lega adalah kedua orang tua Rosyid pun menanggapi salam tersebut. Salam itu hanyalah masalah bahasa semata. Akan tetapi seolah-olah masing-masing agama memiliki ciri khasnya sendiri dalam menyapa. Bukankah ini malah justru melemahkan arti salam itu sendiri? Salam yang sebenarnya berisi sapaan selamat malah justru dipakai sebagai tembok yang membeda-bedakan agama A, B, dan C. Seperti layaknya di medan perang yang masing-masing kubu memiliki sandinya sendiri untuk mengenali sesama kawan, demikian pula salam-salam yang digunakan dalam agama-agama saat ini. Delia telah membuat saya merenungkan makna kata salam itu sendiri. Saat Delia yang seorang Katholik mengungkapkan “wassalamualaikum”, itu berarti ia mencoba membuang identitas keagamaannya dan menempatkan salam sesuai dengan fungsinya yang benar. Melalui salam itulah ayah Rosyid yang tadinya memiliki pendirian keras melebihi baja, luluh seketika. Melalui salam, sebenarnya dunia ini bisa saling berjabat tangan dan berangkulan secara damai di dalam perbedaan.

3. W. S. Rendra adalah tokoh yang dikagumi Rosyid. Saya tidak akan melihat kehidupan pribadi Rendra (meskipun juga menyelami dua agama), tetapi lebih kepada sosoknya sebagai seniman. Seni itu universal. Seni itu tidak beragama. Seni dipakai sebagai simbol yang netral di film ini. Di bagian terakhir, Rosyid membacakan puisi dan setelah itu kedua pihak orang tua yang juga menyaksikan sama-sama bertepuk tangan dan bersalaman. Alangkah indahnya ketika media seni digunakan sebagai media pemersatu. Band Irlandia yang bernama U2 selalu mengibarkan bendera putih saat pentas yang mengisyaratkan musik itu netral. Musik itu mampu mempersatukan dan mendamaikan mereka yang bertikai. Sosok Rosyid pun digambarkan sebagai seorang penyair dan seniman. Karena itulah ia selalu melihat agama secara luas. Seni memang salah satu media yang ampuh untuk menembus tembok perbedaan.

4. Dialog terakhir kalau tidak salah mereka berdua mengatakan, “Kita lihat saja nanti...” Film ini tidak memberikan jawaban. Itulah yang membuat saya sedikit kesal tapi sekaligus senang. Memang keputusan yang mengambang itu adalah keputusan yang paling baik, karena film itu akan tetap terjaga kenetralannya. Mereka berdua dibiarkan bergumul tanpa keputusan apakah berlanjut atau berpisah. Saat kedua pihak orang tua sudah berdamai, malah keputusan itu tidak diambil. Demikianlah problema cinta beda agama. Masalah ini adalah masalah klasik yang terus menjadi pergumulan kita semua. Kitab suci sendiri tidak dapat memberikan penjelasan yang tegas antara boleh atau tidak. Semuanya kembali kepada penafsiran kita terhadap kitab suci. Ditelusur dari sudut etika pun, tidak begitu jelas arahnya. Banyak juga pasangan beda agama yang baik-baik saja dalam menjalani rumah tangganya. Sebaliknya pasangan yang seiman pun bukan jaminan rumah tangga bisa langgeng. Cinta memang


kuat seperti maut dan kegairahan gigih seperti dunia orang mati... Mungkin pernikahan itu dasarnya adalah cinta, bukannya sekedar persamaan agama semata. Atau.... “Kita lihat saja nanti....”


Sebenarnya masih banyak hal yang menarik untuk didiskusikan dari film ini. Tapi supaya berimbang, saya sarankan catatan ini menjadi referensi untuk menonton filmnya secara langsung. Salam...






Ceper, 200511

Tidak ada komentar:

Posting Komentar